MILAD Muhammadiyah sebentar lagi. Organisasi massa Islam ini telah memasuki 112 tahun. Usia yang tak muda lagi. Mentari Muhammadiyah telah menyinari seluruh pelosok negeri bahkan sudah go internasional. Satu hal yang patut disyukuri bangsa ini.
Bagaimana tidak, boleh dibilang hanya Muhammadiyah dan organisasi sayapnya saja, dari sekian organisasi kemasyarakatan–baik yang berpaham nasionalisme, kedaerahan maupun Islam modernis– yang lahir pada awal abad XX yang mampu merawat eksistensi dan terus bergerak.
Sebutlah Budi Utomo, Syarikat Islam, dan sejenisnya, tak ada lagi keberadaannya. Sekalipun Taman Siswa yang sama-sama lahir di Yogyakarta masih hadir, namun kian terbatas lingkup wilayah aktivitasnya.
Baca juga: Indonesia Ibu Kota Kebudayaan Dunia
Muhammadiyah kian bertumbuh kembang, baik amal usahanya maupun kawasan yang dijangkaunya. Organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini telah melintasi benua, go international.
Terlepas dari klaim jumlah anggota dan pengaruhnya dari kepentingan politik, namun kenyataannya dalam setiap pergantian kekuasaan di negara ini, Muhammadiyah selalu diperhitungkan. Tidak salah kiranya bahwa Muhammadiyah itu seribu wajah dengan tetap berpegang pada jalan tengah: Ummatan Wasathan.
Dinamika proliferasi, baik yang terjadi pada organisasi kebangsaan maupun keislaman, tidak menyudutkan atau menguburkannya. Oleh Muhammadiyah justru merupakan dialektika yang mencerahkan.
“Birokrasi dan kian prosedural, bisa jadi itu konsekuensi dari tuntutan ketertiban organisasi yang dibutuhkan agar tidak berjalan sendiri-sendiri.”
Kalangan tradisional, diam-diam justru malah menirunya, khususnya dalam pelayanan pendidikan, kesehatan dan metodologi gerakan dakwah amar makruf nahi munkar.
Angka pertumbuhan organisasi dan perkembangan amal usaha serta perluasan wilayah aktivitas, seringkali dituding kian gemuk sehingga membuat Muhammadiyah lamban bergerak. Birokrasi dan kian prosedural, bisa jadi itu konsekuensi dari tuntutan ketertiban organisasi yang dibutuhkan agar tidak berjalan sendiri-sendiri.
Baca juga: Membalas Budi bagi Rakyat
Harus diakui, Muhammadiyah sebagai jamaah harus mewaspadai jalan Qur’an dan Sunah yang kini mulai dirambah juga sesama kelompok Muslim namun dengan agenda dan penampilan yang berbeda.
Upaya penempelan, pencangkokan, pembonsaian, hingga penyamaan ke dan di dalam Muhammadiyah dengan target perebutan kuantitas jamaah, perlu disikapi dengan sepenuh kearifan dan upaya preventif, kuratif serta rehabilitatif baik ditingkat kepengurusan semua tingkatan maupun pendekatan kepada jamaah.
Sejarah kemajuan masyarakat Islam dan partisipasi politik umat Islam telah ditunjukkan oleh Muhammadiyah dan saudara seiring baik organisasi kebangsaan maupun keislaman.
Bahkan Muhammadiyah tampil saat bangsa dan negara mengalami kegentingan. Ingatlah, nama-nama Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Panglima Besar Sudirman, Mohammad Roem, Djuanda Kartasasmita, sampai Munawir Syadzali adalah sekian dari orang-orang Muhammadiyah yang cawe-cawe di pentas sejarah republik ini.
Baca juga: Pahlawan di Senjakala
Hingga kini sedari sebelum negara ini terbentuk, Muhammadiyah telah menyejarah. Tak akan berhenti menuliskan sejarahnya yang insyaAllah mencerahi dan memajukan kemanusiaan, persatuan kebangsaan dan peradaban dunia dalam keridhoan Illahi Robbi.(*)