Minggu, April 20, 2025
No menu items!

War of Thrones: Pandawa vs Kurawa (1)

Must Read

Takhta, Darah, dan Pengkhianatan

Oleh: Sugiyati

Dunia tak pernah berubah. Kekuatan selalu jadi perebutan, dan kekuasaan adalah permainan para dewa dan manusia. Di negeri Hastinapura, dua keluarga bangsawan berdiri berseberangan, saling menatap dengan api di mata. Satu pihak percaya pada keadilan dan dharma, sementara pihak lain meyakini bahwa kekuatan adalah hukum tertinggi. Dan pada akhirnya, mereka ditakdirkan untuk berperang dalam Bharatayuda, perang terbesar yang akan mengguncang dunia.

Silsilah Dua Klan

Semuanya bermula dari satu akar yang sama: Prabu Santanu, penguasa Hastinapura. Ia mencintai Dewi Gangga, yang melahirkan seorang putra perkasa, Bhishma, yang bersumpah untuk tidak pernah merebut takhta. Setelah kematian Gangga, Santanu menikahi Dewi Setyawati, yang melahirkan Citragada dan Wicitrawirya.

Namun, takdir punya cara kejamnya sendiri. Kedua putra Setyawati tewas tanpa meninggalkan keturunan. Maka, putra Setyawati dari pernikahan sebelumnya, Resi Abiyasa, dipanggil untuk melanjutkan garis keturunan. Dari pernikahannya dengan Dewi Ambika lahirlah Dretarastra, yang buta sejak lahir. Dari Dewi Ambalika, lahirlah Pandu, yang kemudian menjadi raja.

Dretarastra menikahi Gandhari, dan dari rahimnya lahir seratus putra Kurawa, dipimpin oleh Duryudana, sosok ambisius yang haus kekuasaan. Sementara itu, Pandu menikahi dua wanita: Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Kunti melahirkan Yudistira, Bima, dan Arjuna, sementara Madrim melahirkan si kembar Nakula dan Sadewa.

Namun, Pandu terkena kutukan sehingga tak bisa bersama istrinya, dan akhirnya meninggal di pengasingan. Lima putranya, yang disebut Pandawa, dibesarkan di bawah bayang-bayang kebencian sepupu mereka, Kurawa, yang menganggap mereka ancaman bagi takhta Hastinapura.

Konflik yang Tak Terelakkan

Duryudana tak pernah menganggap Pandawa sebagai saudara. Baginya, mereka hanyalah penghalang menuju kekuasaan absolut. Dibantu oleh Sangkuni, sang paman yang licik, Duryudana merancang konspirasi demi konspirasi untuk menyingkirkan Pandawa.

Puncaknya adalah saat Pandawa dijebak dalam permainan dadu. Dengan kecerdikan Sangkuni, mereka kalah telak dan harus menyerahkan segalanya, termasuk Drupadi, istri mereka. Peristiwa ini membuat Bima bersumpah, “Duryudana, aku akan menghancurkan pahamu! Dan Dursasana, aku akan menumpahkan darahmu sebagai persembahan bagi Drupadi!”

Dibuang ke hutan selama 13 tahun, Pandawa mengasah kekuatan. Arjuna bertapa dan mendapatkan senjata ilahi, Bima berlatih hingga tubuhnya sekeras baja, sementara Yudistira belajar kebijaksanaan dari para resi. Mereka tahu bahwa satu-satunya jalan kembali adalah perang.

Bharatayuda: Perang yang Ditakdirkan

Matahari menyala merah di atas Kurukshetra, medan perang yang akan menjadi saksi sejarah. Dua pasukan berdiri berhadapan. Kurawa, dengan seratus pangeran tangguh dan ribuan prajurit, dipimpin oleh Duryudana dan didukung oleh ksatria besar seperti Bhishma, Drona, Karna, dan Aswatama. Di sisi lain, Pandawa berdiri dengan gagah, dipimpin oleh Yudistira dan didukung oleh Arjuna, Bima, Nakula, Sadewa, dan para sekutu seperti Drestadyumna serta Srikandi.

Sebelum perang dimulai, Arjuna meragukan dirinya sendiri. Ia melihat Bhishma, kakeknya, dan Drona, gurunya, di barisan musuh. “Bagaimana aku bisa mengangkat senjata melawan mereka?” katanya.

Di sampingnya, Kresna, yang menjadi kusirnya, hanya tersenyum. “Arjuna, ini bukan perang keluarga. Ini perang antara dharma dan adharma. Jika kau diam, kejahatan akan menang.”

Mendengar itu, Arjuna mengangkat busurnya, Gandiva, dan perang pun dimulai.

Bhishma maju ke garis depan. Tua, tapi tak terkalahkan. Ribuan prajurit tumbang di tangannya. Pandawa terdesak. Namun, akhirnya Arjuna, dengan berat hati, menembakkan panah suci yang membuat Bhishma tumbang, terbaring di atas ranjang panah.

Bima mengamuk. Ia membelah barisan Kurawa, mencari Duryudana dan Dursasana. Ketika ia menemukan Dursasana, ia menepati sumpahnya. Dengan sekali hantam, ia menghancurkan tubuhnya dan mengambil darahnya, menyekapnya ke rambut Drupadi.

Sementara itu, Arjuna berhadapan dengan Karna, saudara seibunya. Duel mereka epik—dua pemanah terbaik di dunia saling bertarung. Namun, ketika roda kereta Karna terjebak di lumpur, Arjuna, atas perintah Kresna, melepaskan panah terakhirnya. Karna gugur dengan kehormatan.

Di akhir perang, hanya Duryudana yang tersisa. Ia bersembunyi di danau, tapi Bima menemukannya. Mereka bertarung dalam duel gada, hingga akhirnya Bima menghantam paha Duryudana—mewujudkan sumpahnya.

Akhir yang Pahit

Pandawa menang, tetapi apa harga kemenangan ini? Hastinapura berdiri, tapi para penghuninya telah tiada. Yudistira naik takhta, tapi hatinya kosong.

Malam itu, di istana yang dingin, ia bertanya kepada Kresna, “Apa artinya semua ini?”

Kresna tersenyum samar. “Kebenaran harus diperjuangkan, tapi tak ada kemenangan dalam perang. Hanya pelajaran untuk generasi selanjutnya.”

Dan di kejauhan, langit Kurukshetra menangis, seperti meratapi takdir manusia yang tak pernah lepas dari lingkaran perang dan kekuasaan.

(Bersambung seri ke-2: Bayangan di Tahta Hastinapura)

Harta, Kelas, dan Takwa: Menimbang Martabat Manusia dalam Tiga Paradigma Dunia

JAKARTAMU.COM | Di tengah pusaran perubahan zaman yang serba cepat, manusia senantiasa mencari pijakan untuk memahami siapa dirinya...
spot_img

More Articles Like This