Cerbung: Sugiyati
Hastinapura terbakar.
Di bawah cahaya bulan yang tertutup asap, dua duel besar menentukan takdir kerajaan.
Di atap istana, Parikesit dan Aswatthama bertarung sengit, pedang beradu, percikan api beterbangan di udara.
Di gerbang barat, Vrishaketu menghadapi Mustakha, sang panglima perang lama Kurawa yang kembali dari bayang-bayang masa lalu.
Perang Bharata kembali dimulai.
Duel di Atap Istana
Parikesit terengah-engah, pedangnya beradu dengan senjata Aswatthama.
“Kenapa kau melakukan ini, Aswatthama?” teriaknya.
Aswatthama tersenyum dingin. “Karena aku tidak pernah melupakan malam saat semua saudaraku dibantai. Aku tidak pernah melupakan kutukan yang membuatku hidup dalam penderitaan.”
Parikesit melompat ke belakang, mengambil jarak. “Kau memilih dendam daripada keadilan?”
Aswatthama menyerang lagi, pedangnya bergerak cepat. “Tidak ada keadilan bagi orang sepertiku! Aku hanya punya satu tujuan—menghapus keturunan Pandawa dari dunia ini!”
Serangan Aswatthama semakin brutal.
Parikesit nyaris kehilangan keseimbangan saat serangan pedang lawannya hampir mengenai lehernya.
“Aswatthama, ini bukan cara untuk menghapus rasa sakitmu!”
Namun, sang ksatria tua itu sudah tenggelam dalam amarah.
“Aswatthama, dengarkan aku!”
Tiba-tiba, dari belakang, sebuah anak panah melesat menembus bahu Aswatthama!
“AARRGH!”
Parikesit terkejut. Ia menoleh dan melihat Satyavati, adik sepupunya, berdiri dengan busur di tangan!
“Aswatthama, kau sudah cukup membawa kehancuran,” kata Satyavati dengan tegas.
Aswatthama mencabut anak panah dari tubuhnya, darah mengalir deras, tetapi matanya masih penuh dendam.
Namun kini, dengan dua lawan di depannya, ia tahu bahwa pertarungan ini tidak akan ia menangkan.
“Aswatthama, menyerahlah,” kata Parikesit.
Aswatthama menyeringai. “Aku tidak pernah menyerah.”
Dalam sekejap, ia melompat ke belakang dan menghilang dalam bayangan malam.
Ia telah mundur, tetapi perang belum berakhir.
Parikesit menghela napas lega. Ia menoleh ke Satyavati.
“Kau menyelamatkanku.”
Satyavati tersenyum kecil. “Hastinapura masih membutuhkan rajanya.”
Namun, mereka belum bisa beristirahat.
Dari kejauhan, terdengar gemuruh pertempuran lain—di gerbang barat.
Parikesit tahu, Vrishaketu masih bertarung.
Duel di Gerbang Barat
Vrishaketu menatap Mustakha dengan tajam.
“Kau seharusnya mati dalam Bharatayuda,” katanya.
Mustakha tersenyum miring. “Aku selamat. Dan sekarang aku kembali untuk membalaskan dendam Kurawa.”
Mereka saling menatap—dua ksatria dari dua generasi yang berbeda.
Kemudian, tanpa aba-aba, mereka menerjang satu sama lain!
Benturan senjata menggema.
Vrishaketu menebas cepat, tetapi Mustakha mampu menghindar dengan gesit.
“Darah Karna mengalir dalam dirimu,” kata Mustakha. “Tapi jangan berpikir itu cukup untuk mengalahkanku!”
Mustakha menyerang balik, pedangnya menebas udara dengan kekuatan luar biasa.
Vrishaketu menangkis, tetapi dorongan tenaga Mustakha begitu besar hingga ia terdorong mundur.
“Aku sudah bertarung lebih lama dari usiamu, bocah,” ejek Mustakha.
Vrishaketu tidak menjawab. Ia menggenggam erat pedangnya, menenangkan napas, menunggu celah.
Mustakha menyerang lagi. Satu… dua… tiga tebasan bertubi-tubi.
Dan saat Mustakha mulai kehilangan ritme—Vrishaketu melihat peluang.
Dalam sekejap, ia bergerak cepat, menghindari serangan Mustakha dan menusukkan pedangnya tepat ke sisi tubuh lawannya!
“ARGHHH!”
Mustakha terhuyung. Darah mengalir dari lukanya.
Vrishaketu menatapnya tajam. “Perang ini sudah selesai, Mustakha.”
Mustakha terbatuk, tetapi masih menyeringai. “Kau pikir ini akhir? Aswatthama masih hidup. Dan dia… tidak akan pernah berhenti.”
Dengan sisa tenaganya, Mustakha berbalik dan melarikan diri ke dalam kegelapan.
Vrishaketu ingin mengejar, tetapi ia tahu ia harus kembali ke istana.
Darah di Singgasana
Saat fajar mulai menyingsing, Hastinapura masih berdiri.
Api masih menyala di beberapa sudut kota, tetapi pasukan pemberontak telah mundur.
Di balairung istana, Parikesit dan Vrishaketu berdiri berdampingan.
“Kita menang malam ini,” kata Parikesit.
“Tapi Aswatthama masih hidup,” jawab Vrishaketu. “Dan selama dia masih ada, Hastinapura belum benar-benar aman.”
Parikesit mengangguk. Perang ini belum berakhir.
Namun, sebelum mereka bisa merencanakan langkah selanjutnya, seorang prajurit berlari masuk ke dalam balairung dengan wajah panik.
“Paduka! Ada sesuatu yang harus kalian lihat!”
Parikesit dan Vrishaketu saling bertukar pandang, lalu mengikuti prajurit itu.
Mereka tiba di pelataran istana.
Di sana, tergantung di gerbang utama Hastinapura, sebuah bendera hitam dengan lambang Kurawa.
Dan di bawahnya, tertulis pesan yang membuat darah mereka membeku.
“Ini baru permulaan. Bharatayuda belum berakhir.”
(Bersambung ke seri ke-11: Kutukan yang Belum Selesai)