Cerbung: Sugiyati
Langit Hastinapura berubah kelam.
Awan hitam berkumpul, angin dingin berhembus menerpa benteng-benteng kota. Suasana mencekam merayapi setiap sudut. Para prajurit berdiri di pos masing-masing, merasakan ketegangan yang belum pernah mereka alami sebelumnya.
Di kejauhan, kabut tebal mulai membuka diri.
Dan dari sana… mereka datang.
Rombongan pasukan berkuda muncul dari kegelapan. Namun, ini bukan pasukan biasa. Mereka adalah sosok-sosok yang seharusnya sudah tiada.
Di barisan depan, Duryodhana memimpin dengan tatapan dingin. Tubuhnya masih dibalut zirah perangnya, mata merahnya memancarkan dendam yang tak kunjung padam.
Di sampingnya, Karna menunggang kuda hitamnya dengan penuh wibawa. Dushasana, Shalya, Bhagadatta, Jayadratha, dan para kesatria lain yang telah gugur dalam Bharatayuda pertama… kini berdiri kembali, dihidupkan oleh ritual Aswatthama.
Dan di belakang mereka, berdiri seorang pria tua dengan sorot mata tajam.
Drona.
Sang guru legendaris Pandawa dan Kurawa kini telah bangkit kembali—dan kali ini, ia berdiri di sisi murid-muridnya yang dulu gugur.
Hastinapura berada dalam ancaman yang bahkan melebihi Bharatayuda pertama.
Hastinapura Bersiap
Parikesit menatap pasukan yang mendekat dari atas benteng. Tubuhnya tegang, tetapi matanya menyala penuh tekad.
“Ini tidak mungkin… mereka semua sudah mati!” desis Vrishaketu di sampingnya.
Brahmana tua yang sebelumnya memperingatkan mereka berdiri dengan wajah pucat. “Aku sudah mengkhawatirkan ini… Aswatthama telah membuka gerbang kematian. Ia mengorbankan kekuatannya sendiri untuk menghidupkan kembali para kesatria yang telah gugur.”
Parikesit mengepalkan tangan. “Jadi, perang ini benar-benar dimulai lagi?”
Brahmana itu mengangguk. “Ya… tetapi kali ini, lawan yang kau hadapi bukan hanya manusia. Mereka adalah arwah yang terikat pada kutukan, yang tak akan berhenti sampai dendam mereka terbalaskan.”
Vrishaketu menggenggam gagang pedangnya dengan erat.
“Kalau begitu, kita hadapi mereka! Ini tanah leluhur kita, kita tidak akan mundur!”
Parikesit mengangguk. Ia menarik napas dalam, lalu mengangkat panji Hastinapura tinggi-tinggi.
“Para prajurit Hastinapura!” suaranya menggema di seluruh benteng.
“Kurawa telah kembali, dan mereka ingin menghancurkan kita! Tapi ini kota kita! Tanah ini adalah warisan leluhur kita! Hari ini, kita tidak hanya bertarung untuk hidup kita… kita bertarung untuk menghentikan kutukan ini selamanya!”
Teriakan perang meledak dari para prajurit.
Mereka tahu, ini bukan pertempuran biasa. Ini adalah perang melawan keabadian.
Pertempuran di Gerbang Kota
Ketika pasukan arwah Kurawa mencapai gerbang Hastinapura, pertempuran meletus dengan dahsyat.
Karna melesat ke depan dengan busur Vijaya di tangan. Panah-panah yang dilepaskannya bukan panah biasa—mereka berkilau dengan energi hitam, membelah udara dan menghancurkan prajurit yang mengenainya dalam sekejap.
Di sisi lain, Dushasana bertarung seperti iblis yang tak kenal lelah. Tebasan pedangnya melumpuhkan siapa saja yang berani mendekat.
Namun, Hastinapura tak gentar.
Parikesit maju dengan tombaknya, melawan langsung Karna dalam duel sengit.
Vrishaketu berhadapan dengan Dushasana, melanjutkan dendam yang diwariskan oleh para leluhurnya.
Dan di tengah medan perang, Drona berdiri diam, memperhatikan murid-muridnya bertarung.
“Aswatthama,” katanya pelan. “Apa kau benar-benar ingin ini terjadi?”
Di kejauhan, Aswatthama berdiri di atas bukit, menyaksikan perang yang telah ia ciptakan.
Ia tersenyum tipis.
“Aku tidak peduli bagaimana perang ini berakhir,” gumamnya. “Aku hanya ingin Bharatayuda berlangsung selamanya.”
Bangkitnya Ksatria Pandawa
Namun, sesuatu terjadi.
Saat pertempuran semakin sengit, sebuah cahaya muncul di tengah-tengah medan perang. Sebuah suara menggema di udara, penuh dengan wibawa dan keagungan.
“Kau memanggil kami… maka kau akan mendapatkan jawabannya.”
Dan dari cahaya itu, lima sosok muncul.
Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.
Para Pandawa—yang telah lama pergi dari dunia ini—kini bangkit kembali untuk mengakhiri Bharatayuda selamanya.
Mata Karna membelalak saat melihat Arjuna berdiri di hadapannya.
Duryodhana mengepalkan tangan saat Yudhistira menatapnya dengan dingin.
Drona hanya menghela napas panjang saat ia melihat murid-muridnya yang lain kini kembali.
Di atas bukit, senyum Aswatthama perlahan memudar.
Ia tidak menyangka bahwa kutukannya telah membangkitkan dua sisi perang sekaligus.
“Jadi… ini yang terjadi,” bisiknya.
Dan di medan perang, Bharatayuda Kedua benar-benar dimulai.
(Bersambung ke seri ke-13: Pandawa vs Kurawa, Pertarungan Terakhir!)