Cerbung: Sugiyati
Langit memerah.
Hastinapura seakan berada di ambang kehancuran. Di medan perang, dua kekuatan besar yang telah lama terkubur sejarah kini kembali berdiri—Pandawa dan Kurawa, bertempur sekali lagi untuk mengakhiri kutukan Bharatayuda.
Yudhistira berdiri di garis depan, wajahnya tenang namun penuh ketegasan. Di hadapannya, Duryodhana menggenggam gada dengan erat, matanya membara oleh dendam yang belum padam.
Arjuna menarik busurnya, membidik Karna yang berdiri dengan tatapan penuh kehormatan sekaligus rasa bersalah.
Bima melangkah maju, mengarahkan pandangannya pada Dushasana yang menyeringai, siap menuntaskan pertempuran yang belum selesai.
Di sisi lain, Nakula dan Sadewa sudah menyiapkan pedang mereka, berhadapan dengan Shalya dan Jayadratha yang bersiap menyerang.
Di atas bukit, Aswatthama hanya tersenyum tipis.
“Inilah akhirnya,” bisiknya pelan.
Arjuna vs Karna: Duel di Bawah Langit Berdarah
Di tengah hiruk-pikuk pertempuran, dua ksatria legendaris saling berhadapan.
Karna menatap Arjuna dengan mata tajam. Tidak ada kebencian di sana—hanya rasa hormat, sekaligus takdir yang harus diselesaikan.
“Kita selalu berakhir di sini, bukan?” kata Karna, menarik tali busur Vijaya miliknya.
Arjuna mengangguk. “Dan kali ini, kita harus menuntaskannya.”
Tanpa kata lain, keduanya melesat ke udara. Panah-panah sakti melesat, menciptakan kilatan cahaya di langit yang kelam.
Setiap serangan mereka mengguncang bumi, membuat para prajurit di bawah terdiam menyaksikan duel para kesatria legendaris.
Karna mengeluarkan senjata pamungkasnya—Nagashtra, panah raksasa berbentuk ular yang menyala dengan api kutukan.
Namun, Arjuna sudah siap. Dengan tenang, ia melepaskan Brahmastra, senjata ilahi yang kekuatannya bisa mengakhiri perang dalam sekejap.
Dua panah bertemu di udara…
Ledakan dahsyat mengguncang langit, membelah awan, dan menciptakan badai api yang menghanguskan sebagian medan perang.
Saat asap menghilang, hanya satu sosok yang masih berdiri.
Arjuna menundukkan kepala. Karna terjatuh, menatap langit untuk terakhir kalinya.
“Akhirnya… aku bisa beristirahat,” bisiknya sebelum tubuhnya memudar menjadi abu.
Duel mereka telah selesai.
Bima vs Dushasana: Dendam yang Terbalaskan
Di bagian lain medan perang, Bima bertarung seperti raksasa yang mengamuk.
Dushasana tertawa liar, mengayunkan pedangnya tanpa henti.
“Kau tidak akan membunuhku dua kali, Bima!” serunya. “Kali ini, akulah yang akan mengakhiri hidupmu!”
Bima tidak menjawab. Dengan satu lompatan besar, ia menghantam dada Dushasana dengan gada Rujaknya.
Dushasana terpental, darah hitam menyembur dari mulutnya.
Namun, ia tidak menyerah. Dengan sisa tenaganya, ia berusaha bangkit…
Hingga Bima mengayunkan gadanya sekali lagi.
Brak!
Tubuh Dushasana hancur menjadi debu, menghilang dari dunia untuk selamanya.
Bima menarik napas berat, tetapi di dalam hatinya, ia tahu…
Kali ini, dendamnya benar-benar telah usai.
Duryodhana vs Yudhistira: Perang Keadilan
Di tengah medan perang, Duryodhana dan Yudhistira saling berhadapan.
Mereka tidak bertarung dengan senjata, melainkan dengan kata-kata yang lebih tajam dari pedang.
“Kau masih menganggap dirimu sebagai raja yang sah, Yudhistira?” suara Duryodhana penuh kemarahan. “Kau merebut kerajaan kami, membiarkan aku dan saudara-saudaraku mati dalam kehinaan!”
Yudhistira menatapnya dengan tatapan penuh kebijaksanaan.
“Kau yang menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kehancuran, Duryodhana,” katanya tenang. “Ambisimu, kesombonganmu, dan kebencianmu—itulah yang membawamu ke titik ini.”
Duryodhana menggertakkan giginya. “Aku tidak akan menerima itu!”
Tanpa peringatan, ia menyerang dengan gada raksasanya.
Namun, Yudhistira tidak bergerak.
Saat gada hampir menghantamnya, tubuh Duryodhana melewati Yudhistira… dan ia terjatuh ke tanah.
Ketika ia bangkit, ia menyadari sesuatu.
Tubuhnya mulai memudar.
Ia melihat tangannya yang mulai berubah menjadi abu, kesadarannya mulai memudar.
“Kutukan ini…” Duryodhana menatap Yudhistira dengan mata yang perlahan kehilangan cahaya. “Jadi… ini benar-benar akhirnya?”
Yudhistira mengangguk. “Sudah waktunya kau beristirahat, Duryodhana.”
Duryodhana ingin berteriak, tetapi sebelum ia bisa mengeluarkan suara…
Tubuhnya menghilang bersama angin malam.
Dan dengan itu, era Kurawa benar-benar berakhir.
Akhir Bharatayuda
Saat pertempuran usai, satu-satunya yang tersisa hanyalah Aswatthama.
Ia berdiri di atas bukit, menatap sisa-sisa medan perang.
Pandawa telah menang. Kutukan yang ia ciptakan telah berakhir.
Ia menghela napas.
Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan ke dalam kegelapan, meninggalkan dunia manusia untuk selama-lamanya.
Di bawah langit yang kini kembali terang, Parikesit dan Vrishaketu berdiri di antara para prajurit Hastinapura.
Mereka tahu…
Sejarah baru telah dimulai.
(Bersambung ke seri ke-14: Hastinapura yang Baru!)