Cerbung: Sugiyati
Langit Hastinapura terbelah.
Teriakan Aswatthama menggema ke seluruh penjuru kota, menggetarkan tanah dan langit. Energi hijau kehitaman meledak dari permata di dahinya, menyebar seperti gelombang angin yang menghancurkan apapun di sekitarnya.
Para prajurit, baik dari pihak Hastinapura maupun pemberontak, jatuh berlutut, mencengkeram kepala mereka, menjerit dalam kesakitan.
Vrishaketu dan Parikesit melompat mundur, mencoba menghindari efeknya.
“Apa yang terjadi?!” teriak Parikesit, napasnya memburu.
Vrishaketu menggertakkan giginya. “Kutukan itu… kutukan itu bangkit!”
Kaliyan, yang tadi percaya diri, kini berdiri terpaku, memandang Aswatthama dengan ketakutan.
Sosok sang kesatria abadi berubah. Matanya bersinar hijau, kulitnya mulai terlihat seperti retakan yang menyala dengan energi terkutuk.
Dan saat ia membuka matanya, suaranya terdengar seperti gemuruh badai.
“Kutukan ini bukan hanya untukku…”
“…tapi untuk dunia!”
Kekacauan yang Tak Terhindarkan
Gelombang energi dari tubuh Aswatthama semakin meluas, mengubah orang-orang di sekitarnya menjadi sesuatu yang lain.
Mata mereka memburam, tubuh mereka mulai menggigil, dan… mereka berubah.
Para prajurit yang terkena kutukan mulai menyerang secara membabi buta, tanpa membedakan kawan atau lawan.
Kaliyan mundur dengan ngeri. “Sial! Aku tidak ingin ini terjadi!”
Vrishaketu dan Parikesit saling bertukar pandang. Ini lebih buruk dari yang mereka bayangkan.
Jika Aswatthama tidak dihentikan sekarang, Hastinapura bukan satu-satunya yang akan jatuh… tetapi seluruh dunia.
Dilema Aswatthama
Di tengah semua kekacauan, Aswatthama tiba-tiba merasa sadar akan apa yang terjadi.
Ia menatap tangannya sendiri, yang kini berpendar dengan energi gelap.
Ia tidak menginginkan ini.
Selama ribuan tahun, ia telah mengutuk dirinya sendiri, tetapi ia tidak pernah ingin membawa kehancuran bagi dunia.
Namun, kutukan Krishna telah melewati batasannya.
Aswatthama menggertakkan giginya. “Aku harus mengendalikannya… sebelum terlambat.”
Namun, sebelum ia bisa bertindak, sebuah serangan datang menghantamnya!
Braaakk!
Sosok Aswatthama terlempar jauh, menghantam reruntuhan bangunan.
Asap mengepul… dan dari dalam asap itu, muncul sesosok pria dengan jubah biru.
Mata pria itu menyala keemasan.
Suaranya dalam, penuh ketegasan.
“Sudah cukup, Aswatthama.”
Vrishaketu dan Parikesit terkejut.
Mereka mengenali pria ini.
“Vyasa…” desis Vrishaketu.
Sang resi legendaris, penulis Mahabharata, kini telah turun tangan.
Aswatthama mengangkat kepalanya, menatap Vyasa dengan mata penuh amarah.
“Untuk apa kau datang, Vyasa?”
Vyasa menatapnya dengan tajam.
“Untuk mengakhiri malapetaka ini, sebelum dunia benar-benar runtuh.”
(Bersambung seri ke-19: Kehendak Para Dewa!)