Bayangan di Tahta Hastinapura
Oleh: Sugiyati
Darah telah mengering di tanah Kurukshetra. Tubuh-tubuh ksatria besar yang dahulu digdaya kini membisu di medan perang. Angin membawa aroma besi dan kematian, seakan mengukir ingatan abadi tentang pertempuran yang baru saja berlalu. Pandawa telah menang, tetapi mereka tak merayakannya.
Di dalam istana Hastinapura, Yudistira duduk di singgasana, tetapi hatinya berat. Takhta yang dulu diperebutkan kini terasa seperti beban. Ia menatap aula besar kerajaan, kosong tanpa sosok Duryudana dan para Kurawa. Ia menang, tetapi perasaan bersalah menggelayut di pikirannya.
Di sisinya, Bima berdiri dengan dada membusung, tatapannya tajam seperti api yang belum padam. “Kakak, kenapa kau terlihat muram? Kita telah mendapatkan kembali hak kita! Ini saatnya memimpin Hastinapura dengan keadilan!”
Namun, Yudistira tak menjawab. Ia hanya diam, menatap bayangan di lantai, seperti melihat arwah mereka yang telah gugur.
Kutukan Gandhari
Tak lama setelah perang, Gandhari, ibu dari seratus Kurawa, datang ke istana dengan langkah gontai. Wajahnya penuh luka kehilangan. Ia tahu bahwa suaminya, Dretarastra, kini hanyalah raja buta tanpa anak-anaknya.
Saat bertemu Pandawa, Gandhari menggenggam tongkatnya dengan gemetar. “Yudistira, kau menang, tetapi tahukah kau bahwa kemenanganmu telah menghancurkan generasi kita?”
Ia mengangkat tangan, telunjuknya mengarah ke Kresna. “Dan kau, Kresna! Kau membiarkan semua ini terjadi! Jika kau memang seorang dewa, kenapa tak kau hentikan perang ini?”
Kresna tersenyum samar, tetapi tak menjawab. Ia tahu, Gandhari dikuasai oleh emosi.
Dengan suara gemetar, Gandhari melanjutkan, “Yudistira, dengarlah. Karena perang ini, generasi keturunanmu tak akan pernah bertahan lama. Kebahagiaan yang kau menangkan akan berubah menjadi kesedihan!”
Kutukan Gandhari menggema di aula istana. Yudistira menutup matanya, merasakan beban yang lebih besar menimpa bahunya.
Kemarahan Aswatama
Di tengah malam, sebuah bayangan menyelinap masuk ke dalam perkemahan Pandawa. Aswatama, putra Resi Drona, datang dengan hati yang membara. Ia tak peduli lagi dengan dharma—baginya, Pandawa harus membayar kematian ayahnya.
Dengan ilmu sihirnya, ia menciptakan ilusi, membuat para penjaga lengah. Ia masuk ke dalam tenda, di mana para keturunan Pandawa tidur nyenyak. Dengan mata merah penuh dendam, ia menghunus belati dan menghabisi setiap putra Pandawa yang ada di dalam tenda itu.
Keesokan harinya, Arjuna menemukan jasad putranya, Abimanyu, dan cucunya, Parikesit, tergeletak tak bernyawa. Jeritan kesedihan memenuhi udara.
Amarah meledak dalam diri Arjuna. “Aswatama! Aku akan mencarimu!”
Dengan Gandiva di tangannya, Arjuna mengejar Aswatama yang berusaha melarikan diri ke hutan. Duel terjadi. Panah-panah dilepaskan, sihir bertemu dengan strategi. Akhirnya, Aswatama, dalam putus asa, menggunakan senjata terlarang: Brahmastra, panah penghancur yang tak bisa dihentikan.
Namun, Arjuna juga melepaskan Brahmastra. Dua kekuatan ilahi bertabrakan di langit, hampir menghancurkan dunia. Para dewa turun tangan, memerintahkan Arjuna untuk menarik kembali senjatanya. Ia menuruti mereka, tetapi Aswatama yang dipenuhi dendam, tak bisa menarik panahnya.
Sebagai hukuman, Kresna mengambil batu permata di dahi Aswatama, sumber kekuatannya, dan mengutuknya untuk hidup abadi dalam penderitaan, mengembara tanpa kehormatan hingga akhir zaman.
Tahta yang Dihantui Bayangan
Hastinapura akhirnya berada di bawah kekuasaan Pandawa, tetapi apakah mereka benar-benar menang?
Yudistira, yang kini menjadi Raja Hastinapura, mulai merasakan kehampaan. Setiap sudut istana seakan dihantui bayangan Duryudana, Karna, dan Bhishma. Di aula besar, ia sering duduk sendirian, bertanya dalam hati:
“Apa gunanya menang jika semua orang yang kita cintai telah tiada?”
Bima, yang dulu paling bersemangat dalam perang, kini kehilangan tujuan. “Kita telah membalas dendam, tapi kenapa aku tetap merasa kosong?” tanyanya kepada Arjuna.
Sementara itu, Arjuna sering berdiri di balkon istana, menatap jauh ke cakrawala. Ia memikirkan putranya, Abimanyu, yang gugur dalam perang. Baginya, perang telah merenggut lebih banyak dari yang ia bayangkan.
Satu-satunya yang masih memegang keteguhan adalah Nakula dan Sadewa. Tetapi mereka pun tahu, Hastinapura yang mereka menangkan kini adalah kerajaan yang penuh dengan kesedihan.
Kresna, yang selama ini menjadi pemandu mereka, hanya tersenyum melihat kebimbangan mereka. “Inilah realitas perang, sahabatku,” katanya pelan. “Tak ada kemenangan sejati, hanya pelajaran yang harus diambil.”
Arah Baru
Suatu malam, Yudistira memanggil keempat saudaranya. “Aku tak bisa terus memimpin. Hati ini terlalu berat,” katanya.
Ia menatap ke kejauhan. “Aku ingin pergi. Meninggalkan dunia ini. Aku ingin mencari jawaban di puncak Himalaya.”
Arjuna menatap kakaknya. “Jika itu keputusanmu, kami akan ikut.”
Bima menghela napas panjang. “Aku tak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tak akan meninggalkan kalian.”
Dan dengan keputusan itu, Pandawa bersiap untuk perjalanan terakhir mereka—menuju Himalaya, meninggalkan takhta dan dunia di belakang mereka.
Namun, sebelum mereka berangkat, Kresna memberi satu pesan terakhir. “Jangan pernah lupakan bahwa dharma adalah perjalanan yang tak pernah selesai. Apa yang kau cari, mungkin tidak ada di puncak gunung, tetapi di dalam hati kalian sendiri.”
Mereka pergi, meninggalkan Hastinapura kepada keturunan mereka, Parikesit, putra Abimanyu yang masih bayi.
Di kejauhan, langit malam menyelimuti istana Hastinapura. Dan bayangan perang Bharatayuda akan selalu menjadi kisah yang diceritakan turun-temurun.
(Bersambung seri ke-3: Jejak Terakhir Para Ksatria)