Oleh: Sugiyati
Dini hari di Hastinapura, angin bertiup dingin menyapu istana yang kini sunyi. Para Pandawa berdiri di gerbang utama, mengenakan pakaian perjalanan sederhana. Tak ada mahkota, tak ada simbol kejayaan. Hanya raut wajah penuh kelelahan dan hati yang dipenuhi pertanyaan.
Di hadapan mereka, Parikesit, bayi kecil cucu Arjuna, tertidur dalam gendongan permaisuri kerajaan. Dialah penerus takhta, satu-satunya harapan terakhir dinasti Bharata.
Yudistira menatapnya lama, lalu membisikkan sesuatu ke telinga sang bayi. “Hiduplah lebih bijak dari kami, Parikesit. Jangan biarkan dendam merusak hatimu.”
Kresna, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Perjalanan ini akan menjadi penutup kisah kalian di dunia ini. Kalian akan berjalan menuju Himalaya, mencari kebenaran terakhir.”
Bima mengangkat alis. “Dan menurutmu kita akan menemukan sesuatu di sana?”
Kresna tersenyum kecil. “Mungkin bukan jawaban, tetapi pemahaman.”
Tanpa banyak bicara lagi, kelima Pandawa melangkah keluar dari Hastinapura. Di belakang mereka, gemerlap istana perlahan tertutup kabut pagi.
Perjalanan ke Utara
Di sepanjang perjalanan, Pandawa melihat sisa-sisa kehancuran Bharatayuda. Desa-desa hancur, sawah mengering, dan banyak rakyat yang kehilangan keluarga mereka.
Nakula mengepalkan tangan. “Apa gunanya perang jika hanya menyisakan penderitaan?”
Yudistira menundukkan kepala, merasa semakin yakin bahwa meninggalkan dunia ini adalah pilihan terbaik.
Hari demi hari mereka berjalan, mendaki gunung, melewati lembah dan hutan. Tak ada lagi gelar ksatria, tak ada lagi kehormatan perang. Hanya lima pria yang lelah mencari arti kehidupan.
Namun, satu per satu, mereka mulai jatuh.
Satu per Satu Pergi
Di kaki Himalaya, saat matahari terbenam, Drapadi tiba-tiba terjatuh.
Bima segera berlari menolongnya, tetapi Kresna yang masih mengikuti mereka menggeleng pelan. “Dia tak akan bisa melanjutkan.”
Yudistira mendekati istrinya, matanya berkaca-kaca. Drapadi tersenyum lemah. “Aku telah mencintai kalian semua, tetapi hatiku lebih condong pada Arjuna. Mungkin ini adalah hukumanku.”
Yudistira mengangguk. “Beristirahatlah dalam damai, wahai permaisuriku.”
Drapadi mengembuskan napas terakhirnya, dan tubuhnya menjadi satu dengan tanah Himalaya.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati yang semakin berat.
Tak lama kemudian, Sahadeva jatuh.
“Kakak…” katanya lirih. “Aku terlalu bangga akan kecerdasanku. Aku pikir aku yang paling bijak, tetapi ternyata tidak.”
Yudistira menatapnya dengan sedih. “Kau telah setia, adikku. Pergilah dengan tenang.”
Mereka berjalan lagi, tetapi Nakula jatuh di tikungan berikutnya.
“Aku terlalu bangga dengan ketampananku,” katanya sambil tersenyum pahit. “Aku lupa bahwa wajah bukanlah segalanya.”
Bima menggeram. “Kenapa kita harus kehilangan mereka satu per satu?”
Kresna hanya menatapnya dengan tatapan penuh makna. “Ini bukan kehilangan, tetapi penyelesaian.”
Kini tersisa tiga: Yudistira, Bima, dan Arjuna.
Saat mendaki puncak yang lebih tinggi, tiba-tiba Arjuna terhuyung dan jatuh ke tanah.
Bima segera menghampirinya. “Arjuna! Bangun!”
Arjuna tersenyum tipis. “Aku terlalu bangga dengan Gandiva dan kemampuanku sebagai pemanah. Aku pikir aku tak terkalahkan.”
Yudistira berlutut di sampingnya. “Kau adalah ksatria terhebat, Arjuna. Beristirahatlah dengan damai.”
Dan dengan itu, Arjuna pun pergi.
Kini hanya tersisa dua.
Kesendirian Bima dan Yudistira
Bima berjalan dengan gigi terkatup. “Aku tak akan jatuh seperti mereka. Aku yang terkuat.”
Namun, di puncak salju berikutnya, kakinya mulai lemas. Nafasnya tersengal. Tubuhnya yang besar tiba-tiba terasa berat.
“Bima!” Yudistira berlari, mencoba menolong, tetapi Bima mengangkat tangan.
“Aku selalu bangga dengan kekuatanku,” katanya. “Aku pikir aku bisa melakukan segalanya dengan ototku, tetapi ternyata tidak.”
Matanya menatap Yudistira. “Kakak, aku ingin makan satu kali lagi sebelum mati.”
Yudistira tertawa kecil, menahan air mata. “Di surga, makanan tak akan ada habisnya, Bima.”
Bima tersenyum. “Kalau begitu, aku akan pergi lebih dulu ke sana.”
Dan dengan napas terakhirnya, Bima pun pergi.
Kini hanya tinggal Yudistira.
Menuju Gerbang Keabadian
Dengan tubuh lelah dan hati yang berat, Yudistira berjalan sendiri menuju puncak Himalaya.
Di hadapannya, sebuah gerbang emas tiba-tiba muncul dari kabut.
Di sana berdiri Dewa Indra, menunggangi kereta surgawi.
“Naiklah, Yudistira,” kata Indra. “Kau akan menuju ke surga, karena kau adalah manusia paling suci di dunia ini.”
Yudistira menatap ke belakang, melihat jejaknya di salju. Ia telah kehilangan semua saudaranya, tetapi perjalanan belum berakhir.
Namun, tiba-tiba, seekor anjing kurus muncul di sampingnya. Anjing itu telah mengikuti perjalanannya sejak awal, setia tanpa meninggalkannya.
Indra menggeleng. “Anjing tak boleh masuk ke surga.”
Yudistira menatap anjing itu lama. Lalu ia berkata, “Kalau begitu, aku juga tak akan masuk ke surga.”
Indra terkejut. “Kenapa?”
“Jika aku meninggalkan anjing ini hanya demi masuk surga, maka semua dharmaku sia-sia. Kesetiaan adalah nilai tertinggi.”
Tiba-tiba, anjing itu berubah menjadi Dewa Dharma, ayah sejatinya.
Dewa Dharma tersenyum. “Kau telah lulus ujian terakhir, anakku.”
Yudistira menghela napas panjang. “Aku tak peduli dengan surga atau neraka. Aku hanya ingin bersama keluargaku.”
Indra tersenyum. “Maka kau akan bertemu mereka.”
Dan dengan itu, Yudistira naik ke kereta surgawi, meninggalkan dunia fana.
Akhir Legenda
Di Hastinapura, Parikesit tumbuh menjadi raja yang bijaksana.
Kisah Pandawa menjadi legenda, diceritakan turun-temurun.
Di langit, bintang-bintang bersinar lebih terang, seakan menyambut kepulangan para ksatria ke keabadian.
(Bersambung ke seri 4: Surga dan Neraka Para Ksatria)