Oleh: Sugiyati
Derap roda kereta surgawi yang dikendarai Dewa Indra menggema di langit. Yudistira duduk dengan tenang, memandang awan-awan keemasan yang membentang di hadapannya. Cahaya yang begitu terang memenuhi sekelilingnya, tetapi hatinya tetap dipenuhi tanda tanya.
“Apakah saudara-saudaraku sudah berada di surga?” tanyanya pada Indra.
Dewa penguasa kahyangan itu tersenyum samar. “Kau akan melihat sendiri.”
Dalam sekejap, kereta mereka menembus lapisan langit dan berhenti di gerbang Swarga Loka, tempat para dewa dan arwah suci bersemayam. Aroma dupa dan bunga suci tercium begitu kuat, sementara lantai marmer bersinar seakan dipenuhi bintang-bintang kecil.
Namun, yang membuat Yudistira terkejut adalah sosok yang pertama kali menyambutnya.
“Duryodana?”
Di depannya, berdiri sosok Duryodana dalam wujud cahaya, mengenakan mahkota dan pakaian kebesaran, tersenyum lebar seolah menyambut seorang teman lama.
“Selamat datang di surga, Yudistira,” katanya tenang.
Yudistira memandangnya dengan tatapan tak percaya. “Bagaimana mungkin kau berada di sini? Bukankah kau seharusnya dihukum atas semua kejahatanmu?”
Indra melangkah maju. “Duryodana mati sebagai ksatria. Meski ambisinya besar dan kejam, ia berperang dengan gagah dan setia pada kaumnya. Dalam ajaran dharma, seorang ksatria yang mati di medan perang dengan keberanian akan mendapatkan tempat di surga.”
Yudistira menggertakkan giginya. “Lalu di mana saudara-saudaraku? Di mana Bima, Arjuna, Nakula, Sahadeva, dan permaisuriku, Drapadi?”
Indra terdiam sejenak sebelum menjawab, “Mereka tidak berada di sini.”
Yudistira menegang. “Jangan katakan bahwa mereka ada di neraka!”
Indra tidak menjawab, tetapi sebuah cahaya biru muncul, membawanya menembus lapisan surga dan turun ke kegelapan.
Menyaksikan Neraka
Dalam sekejap, Yudistira menemukan dirinya berdiri di pintu Vaitarani, sungai darah dan api yang memisahkan dunia para arwah tersiksa. Bau daging terbakar dan jeritan kesakitan menggema di udara.
Dengan hati yang berdebar, Yudistira melangkah lebih jauh. Lalu, ia melihat mereka.
Bima, Arjuna, Nakula, Sahadeva, dan Drapadi—semua terjebak di dalam siksaan neraka.
Bima, sang ksatria terkuat, diikat dengan rantai besi, tubuhnya disiksa oleh api yang membakar tetapi tak pernah menghanguskannya.
Arjuna, sang pemanah legendaris, ditusuk dengan anak panah yang tak henti-hentinya menghunjam tubuhnya, seakan membayar setiap nyawa yang telah ia jatuhkan.
Nakula dan Sahadeva dihukum di dalam pusaran api dingin yang membekukan, hukuman bagi kesombongan mereka terhadap ketampanan dan kecerdasan.
Drapadi, sang permaisuri tercinta, dikelilingi oleh bayangan gelap, merepresentasikan pergulatan hatinya yang pernah mencintai lebih dari satu pria.
Yudistira terperanjat, matanya berkaca-kaca. “Tidak… Ini tidak mungkin!”
Dari balik bayangan neraka, terdengar suara lirih dari Bima. “Kakak… Kau ada di sini?”
Yudistira mendekat, tetapi sesuatu menghalanginya. “Kenapa kalian di sini? Kalian lebih pantas berada di surga daripada Duryodana!”
Suara Dewa Dharma, ayahnya, bergema di udara. “Setiap manusia membawa dosanya sendiri, Yudistira. Saudara-saudaramu terjebak di sini untuk menebus kesalahan mereka.”
“Kesalahan mereka?” Yudistira bergetar. “Lalu kenapa aku tidak dihukum?”
Indra menjawab dengan suara tenang. “Kau telah menjalani hidup dengan dharma yang paling murni. Kau telah menolak surga demi seekor anjing. Kau telah memilih kesetiaan di atas kenikmatan pribadi.”
Yudistira menggertakkan giginya. “Aku tidak peduli! Jika mereka harus di neraka, maka aku juga akan tinggal di sini bersama mereka!”
Tiba-tiba, langit neraka bergetar. Suara jeritan mereda. Kabut gelap perlahan memudar.
Kebenaran di Balik Ilusi
Yudistira terkejut saat melihat neraka di hadapannya mulai berubah. Jeritan hilang, nyala api meredup, dan sosok saudara-saudaranya perlahan berubah menjadi cahaya.
Indra tersenyum. “Ini adalah ujian terakhir.”
Yudistira menoleh. “Apa maksudmu?”
“Surga dan neraka bukan hanya tentang hukuman dan pahala,” ujar Indra. “Tetapi tentang pemurnian jiwa. Kau baru saja melewati ujian terakhir, Yudistira. Kau memilih untuk tetap bersama keluargamu meskipun harus berada di neraka. Itulah puncak dharma yang sejati.”
Tiba-tiba, suara merdu bergema di udara. Cahaya menyelimuti saudara-saudaranya.
Bima, Arjuna, Nakula, Sahadeva, dan Drapadi bangkit dengan wujud bercahaya. Mereka telah bebas.
Dewa Dharma muncul di hadapan Yudistira. “Kau telah membuktikan bahwa dharma sejati adalah kebersamaan, bukan hanya aturan dan hukuman. Kini kau dan saudara-saudaramu akan memasuki Swarga Loka yang sejati.”
Dengan sekali tepukan tangan, neraka lenyap.
Di depan mereka, terbuka sebuah gerbang cahaya. Di baliknya, terhampar taman surgawi dengan aliran sungai jernih, bunga-bunga yang bermekaran, dan suara musik surgawi yang menyambut mereka.
Pandawa dan Drapadi melangkah masuk, bersatu kembali dalam keabadian.
Epilog: Warisan yang Abadi
Di dunia fana, Parikesit tumbuh menjadi raja yang bijaksana.
Ia mendengar kisah kakek buyutnya, tentang perang besar Bharatayuda, tentang kehancuran, pengorbanan, dan pelajaran tentang dharma.
Sang raja muda bersumpah, tidak akan membiarkan perang terjadi lagi.
Dari kisah Pandawa dan Kurawa, ia belajar bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada senjata, tetapi pada kebijaksanaan, kesetiaan, dan pengorbanan.
Dan begitu, legenda Pandawa abadi di hati manusia, menjadi kisah yang tak lekang oleh waktu.
(Bersambung ke seri ke-5: Takhta yang Tersisa)