Minggu, Maret 9, 2025
No menu items!
spot_img

War of Thrones, Pandawa vs Kurawa {5): Takhta yang Tersisa

spot_img
Must Read


Oleh; Sugiyati

Kota Hastinapura masih diliputi kabut duka. Perang Bharatayuda telah usai, tetapi jejak kehancuran dan kematian masih membekas di setiap sudut istana. Ribuan prajurit telah gugur, tanah Kurukshetra kini menjadi ladang kenangan pahit bagi mereka yang selamat.

Di tengah reruntuhan takdir, seorang pemuda berdiri menatap singgasana kosong di aula kerajaan. Ia adalah Parikesit, cucu Arjuna, satu-satunya pewaris darah Pandawa yang masih hidup.

Namun, takhta itu bukan sekadar simbol kejayaan. Ia adalah beban sejarah, warisan perang, dan sisa-sisa kebanggaan yang dipenuhi darah.

Pertanyaan di Balik Mahkota

Sejak Pandawa memutuskan untuk meninggalkan dunia fana dan menuju Swarga Loka, Parikesit ditinggalkan dengan warisan yang rumit.

Ia duduk di depan Kripa, penasihat kerajaan yang tersisa setelah perang.

“Bagaimana aku bisa menjadi raja yang baik?” tanya Parikesit, matanya dipenuhi kebimbangan. “Kakek-kakekku berperang demi keadilan, tetapi perang itu sendiri merenggut hampir semua orang yang mereka cintai.”

Kripa, yang telah melihat kematian dan kebangkitan banyak pemimpin, menatap pemuda itu dengan dalam.

“Keadilan bukan hanya tentang perang, Parikesit,” katanya pelan. “Kadang, keadilan adalah memilih untuk tidak berperang.”

Parikesit terdiam. Kata-kata itu seperti tamparan.

“Jadi… apakah perang Bharatayuda sia-sia?” tanyanya.

Kripa menggeleng. “Tidak. Perang itu adalah konsekuensi dari keangkuhan, dendam, dan ambisi. Tapi ingatlah, Pandawa tidak menginginkan perang. Mereka berperang karena tidak punya pilihan lain.”

Parikesit mengepalkan tangan. “Lalu, bagaimana aku bisa memimpin tanpa mengulang kesalahan mereka?”

Kripa tersenyum samar. “Dengan mendengarkan suara rakyatmu, bukan hanya suara kehormatan dan harga diri.”

Bayangan Kurawa di Tengah Kedamaian

Namun, takhta Hastinapura tidak hanya diwarisi oleh darah Pandawa.

Di sudut-sudut kerajaan, sisa-sisa keturunan Kurawa masih ada. Mereka hidup dalam bayangan, menahan dendam yang belum padam.

Di antara mereka, seorang pria bertubuh tegap dengan tatapan membara sedang berkumpul dengan beberapa pemuda lainnya.

Ia adalah Vrishaketu, putra mendiang Karna.

“Kita hanya diam dan menerima takdir ini?” suaranya bergetar menahan amarah. “Pandawa merebut segalanya dari ayahku, dari keluargaku! Dan sekarang, mereka mengangkat bocah ini sebagai raja?”

Salah satu pengikutnya, seorang pemuda keturunan Kurawa, menimpali, “Parikesit adalah darah Pandawa, tetapi kita tahu takhta ini seharusnya milik kita!”

Api kemarahan menyala dalam dada Vrishaketu. Ia mengingat ayahnya, Karna, yang sepanjang hidupnya bertarung dalam kesetiaan buta kepada Duryodana, hanya untuk akhirnya dikhianati oleh takdir.

“Jika kita tidak bisa mengambil takhta dengan cara biasa,” katanya dingin, “maka kita akan mengambilnya dengan cara lain.”

Malam itu, sebuah rencana berbahaya mulai disusun.

Ancaman dari Sisi Gelap

Parikesit tidak menyadari bahwa di balik kedamaian yang mulai ia bangun, bayangan dendam mulai menyusup ke dalam istananya.

Namun, di dalam hatinya, ada satu perasaan yang terus menghantuinya—apakah takhta ini memang miliknya?

Dan jika takhta ini adalah warisan darah dan perang, maka seberapa jauh ia harus bertahan untuk menjaganya?

(Bersambung ke seri ke-6: Bangkitnya Bayangan Karna)

spot_img

Dugaan Korupsi Dana Hibah Tilawatil Quran di Pringsewu: Tiga Pejabat Ditahan

PRINGSEWU, JAKARTAMU.COM | Kejaksaan Negeri (Kejari) Pringsewu menahan tiga pejabat daerah terkait dugaan korupsi dana hibah Lembaga Pengembangan Tilawatil...

More Articles Like This