Oleh: Sugiyati
Dini hari menyelimuti Hastinapura dengan kabut tipis. Di balik kemegahan istana yang baru dipulihkan setelah perang Bharatayuda, sebuah rencana kelam mulai menyusup ke dalam bayang-bayang kekuasaan.
Di sebuah tempat tersembunyi di luar tembok kerajaan, Vrishaketu berdiri tegap di tengah sekelompok pria yang menyebut diri mereka “Sisa Kurawa”. Mereka adalah keturunan para pejuang yang gugur di medan perang.
Mata Vrishaketu menatap tajam ke arah obor yang menyala, membakar lembaran sejarah yang ditulis dengan darah keluarganya.
“Hari ini kita bukan lagi bayangan,” katanya lantang. “Kita akan menjadi badai yang meruntuhkan kediktatoran Pandawa!”
Salah satu pria, keturunan Dursasana, mengepalkan tangan. “Tapi Parikesit berbeda dengan kakeknya, Arjuna. Dia tidak seperti Yudistira yang dulu mengklaim keadilan tapi membiarkan ayah-ayah kita mati!”
Vrishaketu menghela napas panjang. Ia mengenal Parikesit. Mereka tumbuh bersama di bawah pengawasan para sesepuh Hastinapura. Tetapi kini, mereka berada di dua sisi takdir yang berseberangan.
“Parikesit mungkin tidak bersalah,” ujar Vrishaketu. “Tetapi takhta ini dibangun dari darah. Dan aku tidak bisa membiarkan warisan ayahku, Karna, terkubur begitu saja!”
Para pengikutnya bersorak. Perlawanan telah dimulai.
Parikesit dan Beban Sejarah
Di dalam istana, Parikesit duduk di aula pertemuan bersama Kripa dan beberapa penasihat kerajaan lainnya.
“Situasi di luar semakin tegang,” lapor salah seorang menteri. “Banyak keluarga keturunan Kurawa yang merasa diabaikan sejak Pandawa mengambil alih Hastinapura.”
Parikesit mengusap wajahnya. “Aku tak ingin mengulang sejarah. Aku ingin memimpin dengan adil,” katanya.
Kripa mengangguk. “Tapi keadilan bukan sekadar niat baik, Parikesit. Kau harus memahami luka yang mereka rasakan.”
Parikesit menghela napas. Ia tahu perang telah merampas segalanya dari banyak orang, baik Pandawa maupun Kurawa.
“Siapa pemimpin dari mereka?” tanya Parikesit.
Seorang prajurit maju ke depan. “Vrishaketu, putra Karna.”
Jantung Parikesit berdegup lebih cepat. Ia mengenal Vrishaketu sejak kecil. Mereka belajar bersama, berlatih bersama. Tetapi kini, mereka terpisah oleh garis yang sama yang dulu memisahkan Karna dan Arjuna.
“Aku ingin berbicara dengannya,” kata Parikesit tegas.
Kripa menatapnya lama. “Berhati-hatilah. Tak semua dendam bisa diselesaikan dengan kata-kata.”
Pertemuan Dua Darah
Malam itu, di tepi hutan di luar Hastinapura, Parikesit pergi dengan beberapa pengawal. Tetapi ia memerintahkan mereka untuk tetap berjaga di kejauhan.
Di bawah sinar bulan, Vrishaketu menunggu.
“Parikesit,” sapanya dingin.
“Vrisha,” balas Parikesit. “Aku tidak ingin kita mengulang kesalahan leluhur kita.”
Vrishaketu menyeringai. “Kesalahan leluhur kita? Kesalahan mereka adalah mempercayai sesuatu yang disebut ‘keadilan’ yang ternyata hanya kedok untuk kepentingan Pandawa.”
Parikesit menggeleng. “Tidak ada keadilan dalam perang, hanya kehilangan.”
“Ayahku tidak mendapatkan haknya,” potong Vrishaketu. “Dia dibesarkan seperti seorang sudra, dibuang dari keluarganya sendiri, dan akhirnya mati di tangan saudara kandungnya sendiri yang bahkan tidak tahu mereka sedarah!”
Parikesit diam. Ia tidak bisa menyangkal bahwa ayahnya, Arjuna, pernah membunuh Karna di saat-saat terakhir perang.
“Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu,” kata Parikesit pelan. “Tapi kita bisa memilih untuk tidak mengulangnya.”
Vrishaketu tertawa sinis. “Kau terlalu naif, Parikesit. Aku tidak butuh belas kasihan. Aku ingin membuktikan bahwa garis keturunan Karna tidak lemah.”
Ia mencabut pedangnya. “Aku menantangmu. Duel. Jika aku menang, aku akan mengambil takhta Hastinapura!”
Parikesit menatapnya lama. “Dan jika aku menang?”
Vrishaketu tersenyum tipis. “Maka aku akan mengakui kekuasaanmu.”
Angin malam berhembus kencang. Dua darah keturunan Bharata kini berdiri berhadapan, tak lagi sebagai sahabat, melainkan sebagai lawan.
(Bersambung ke seri ke-7: Duel Darah Bharata)