Senin, Maret 10, 2025
No menu items!
spot_img

War of Thrones, Pandawa vs Kurawa (7): Duel Darah Bharata

spot_img
Must Read


Oleh: Sugiyati

Angin malam berhembus kencang di tepi hutan Hastinapura. Parikesit dan Vrishaketu berdiri berhadapan, dua darah keturunan Bharata yang kini terbelah oleh warisan dendam.

Bulan purnama menjadi saksi. Pedang telah dicabut. Duel ini bukan sekadar pertempuran dua pria muda, tetapi bentrokan antara dua warisan yang bertolak belakang.

Parikesit menarik napas panjang. “Aku tidak ingin ini berakhir dengan kematian, Vrisha.”

Vrishaketu menyeringai. “Kematian sudah menjadi bagian dari sejarah kita, Parikesit. Aku hanya ingin mengambil hak yang seharusnya milik ayahku.”

Tanpa aba-aba, Vrishaketu menyerang lebih dulu. Pedangnya berkilat di bawah sinar bulan, menebas cepat ke arah Parikesit.

Benturan pertama terdengar nyaring.

Parikesit menangkis dengan cekatan, tetapi dorongan kuat dari Vrishaketu memaksanya melangkah mundur.

Duel dimulai.

Pertempuran di Bawah Sinar Bulan

Vrishaketu menyerang bertubi-tubi. Gerakannya cepat dan agresif, seperti gabungan antara gaya bertarung Karna dan Duryodana.

Parikesit bertahan dengan disiplin, mengandalkan ketenangan seperti yang diajarkan kakeknya, Yudistira.

“Terlalu banyak bertahan, Parikesit?” ejek Vrishaketu sambil menebaskan pedangnya lagi.

Parikesit menghindar dengan lompatan ringan. “Aku tidak bertahan. Aku menunggu.”

Vrishaketu tersenyum sinis. “Menunggu apa? Aku mengambil kepalamu?”

Namun, dalam sekejap, Parikesit berbalik menyerang. Ia bergerak cepat, mengayunkan pedang dengan kekuatan penuh.

Vrishaketu nyaris tidak sempat menangkis. Serangan Parikesit membuatnya terdorong ke belakang.

Mata Vrishaketu membelalak. Ia baru sadar—Parikesit bukan hanya prajurit yang disiplin, tetapi juga petarung cerdas yang tahu kapan harus menunggu dan menyerang.

Tetapi Vrishaketu bukan pria yang mudah menyerah.

Dengan gerakan tak terduga, ia melompat ke udara, berputar, dan menebas dari atas.

Parikesit melihat celah.

Dalam sepersekian detik, ia menggeser langkahnya, mengangkat pedang, dan menangkis serangan Vrishaketu dengan kekuatan penuh.

“CLANGG!”

Benturan itu begitu kuat hingga pedang Vrishaketu terpental ke tanah.

Vrishaketu terhuyung. Sebelum ia sempat bereaksi, ujung pedang Parikesit sudah menempel di lehernya.

“Sudah cukup,” kata Parikesit dengan suara tegas.

Napasku Vrishaketu memburu. “Bunuh aku jika kau memang pemenang sejati.”

Parikesit menatapnya dalam-dalam. “Aku tidak bertarung untuk membunuh. Aku bertarung untuk menghentikan dendam yang tak ada habisnya.”

Vrishaketu diam.

Di matanya, ia melihat sesuatu yang berbeda. Parikesit bukan sekadar raja muda. Ia adalah pemimpin yang paham bahwa kekuatan sejati bukan hanya soal menang dalam perang, tetapi juga soal memilih kapan harus mengakhirinya.

Akhir Duel, Awal Sebuah Perubahan

Parikesit menurunkan pedangnya. “Vrisha, aku ingin kau menjadi bagian dari Hastinapura, bukan musuhnya.”

Vrishaketu terkejut. “Kau menawarkan kedamaian setelah semua ini?”

Parikesit mengangguk. “Kau putra Karna. Seharusnya, kau juga berhak atas bagianmu dalam kerajaan ini. Tapi bukan sebagai pengkhianat, melainkan sebagai saudara.”

Vrishaketu menunduk. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa dendam yang ia pikul selama ini mungkin sia-sia.

“Kau mirip dengan kakekmu, Arjuna,” katanya lirih. “Tapi dengan hati Yudistira.”

Parikesit tersenyum tipis. “Mungkin itu takdirku.”

Malam itu, duel yang nyaris menjadi awal perang baru justru berakhir dengan awal sebuah persaudaraan baru.

Namun, di kejauhan, tidak semua orang senang dengan hasil ini.

Di kegelapan, seseorang yang tak terlihat menyaksikan kejadian itu dengan mata penuh amarah. Seseorang yang masih menyimpan api dendam yang lebih besar.

(Bersambung ke seri ke-8: Sang Pengkhianat dari Hastinapura)

spot_img

Posisi Prabowo dalam Dinamika Politik Kekuasaan Indonesia

MELIHAT perjalanan Prabowo kecil, remaja, hingga tumbuh dewasa dan kini tergolong lansia, plus pengalaman dinas militer dan keluarga yang...

More Articles Like This