Cerbung: Sugiyati
Dari balik bayang-bayang pohon beringin tua, sepasang mata mengintai duel Parikesit dan Vrishaketu. Ia menyaksikan bagaimana duel yang seharusnya mengakhiri warisan dendam malah berujung damai.
Dendamnya mendidih.
“Aku tak akan membiarkan kedamaian ini bertahan lama,” gumamnya dengan suara dingin.
Sosok itu berbalik, menyelinap ke dalam gelap, menuju Hastinapura. Sang pengkhianat telah memutuskan untuk mengambil tindakan.
Senja di Balairung Hastinapura
Di dalam istana Hastinapura, Parikesit duduk bersama Vrishaketu, membicarakan masa depan kerajaan.
“Kau yakin rakyat bisa menerimaku?” tanya Vrishaketu dengan nada ragu.
Parikesit tersenyum. “Kau putra Karna. Seorang ksatria besar yang pernah berjuang demi kehormatan Hastinapura. Aku yakin, selama kau berdiri di sisi kebenaran, rakyat akan menerimamu.”
Vrishaketu menghela napas. Ia tumbuh dengan kebencian terhadap Pandawa, tetapi melihat kepemimpinan Parikesit, hatinya mulai goyah.
Namun, sebelum pembicaraan mereka berlanjut, seorang prajurit masuk tergesa-gesa.
“Paduka, ada laporan dari perbatasan barat. Beberapa desa diserang oleh kelompok bersenjata misterius!”
Parikesit dan Vrishaketu saling berpandangan.
“Siapa yang cukup berani menyerang wilayah Hastinapura?” tanya Vrishaketu.
Sang prajurit menunduk. “Kami belum tahu, Paduka. Tapi mereka membawa panji yang… mengingatkan kami pada masa lalu.”
Parikesit bangkit. “Masa lalu? Maksudmu apa?”
Sang prajurit menelan ludah sebelum menjawab, “Mereka membawa panji dengan lambang Kurawa.”
Ruangan mendadak sunyi.
Jejak Sang Pengkhianat
Malam itu, Parikesit dan Vrishaketu berangkat ke desa yang diserang. Api masih menyala di beberapa rumah, dan tubuh prajurit Hastinapura bergelimpangan.
Vrishaketu menggertakkan gigi. “Siapa yang berani melakukan ini?”
Seorang penduduk tua yang selamat berjalan tertatih mendekati mereka. “Kami diserang oleh pasukan bertopeng… Mereka meneriakkan nama Duryodana dan menuntut agar Kurawa kembali berkuasa!”
Parikesit mengepalkan tangan. “Ini tidak mungkin. Kurawa telah tiada.”
Penduduk itu menggeleng. “Mungkin benar, tetapi seseorang berusaha menghidupkan kembali warisan mereka.”
Vrishaketu menatap tanah, pikirannya berputar.
Siapa yang cukup gila untuk membangkitkan bayangan Kurawa setelah semua ini?
Tiba-tiba, salah satu prajurit menemukan sesuatu.
“Paduka! Kami menemukan sesuatu di reruntuhan!”
Parikesit dan Vrishaketu bergegas ke arah yang ditunjukkan.
Di sana, tergeletak bendera dengan simbol Kurawa, dan di baliknya—tertulis sebuah pesan yang membuat darah mereka membeku.
“Hastinapura milik Kurawa. Parikesit harus mati.”
Vrishaketu menatap Parikesit dengan serius. “Kau dalam bahaya. Ini bukan sekadar perampokan atau serangan liar.”
Parikesit mengangguk. “Ini pemberontakan.”
Dan seseorang sedang menarik tali dari bayang-bayang kegelapan.
Misteri di Ruang Rahasia
Malam itu, Parikesit kembali ke istana dengan pikiran penuh pertanyaan.
Siapa dalang di balik semua ini?
Ia berjalan menuju ruang rahasia penyimpanan kitab sejarah Hastinapura. Hanya sedikit orang yang tahu tentang tempat ini, karena di dalamnya tersimpan catatan perang Bharatayuda dan nasib terakhir para Kurawa.
Namun, saat ia tiba, pintu ruang rahasia itu telah terbuka.
Parikesit langsung waspada. “Siapa di sana?”
Suara langkah kaki terdengar.
Dari dalam kegelapan, muncul seorang pria dengan jubah hitam.
Ia melangkah maju, dan Parikesit mengenalinya dalam sekejap.
“Paman Aswatthama?”
Mata Aswatthama menyala penuh kebencian. “Aku menunggumu, Parikesit.”
Parikesit menggenggam gagang pedangnya. “Apa maksudmu?”
Aswatthama tertawa dingin. “Hastinapura terlalu lama diperintah oleh darah Pandawa. Aku datang untuk mengembalikan keseimbangan.”
Parikesit tersentak. “Jadi kau dalangnya? Kau yang menyerang desa-desa?”
Aswatthama mengangguk. “Aku mengumpulkan sisa-sisa pengikut Kurawa. Aku membangkitkan kembali semangat mereka. Dan kini… waktunya mengakhiri pemerintahanmu.”
Dalam sekejap, Aswatthama menghunus pedangnya dan menyerang!
Parikesit menghindar dengan cepat, pedangnya bertemu dengan milik Aswatthama dalam benturan keras.
Duel telah dimulai.
Namun, di luar istana, pasukan bayangan Aswatthama telah bergerak. Hastinapura dalam bahaya.
(Bersambung ke seri ke-9: Pemberontakan di Hastinapura)