Cerbung: Sugiyati
Benturan pedang antara Parikesit dan Aswatthama bergema di dalam ruang rahasia istana Hastinapura.
Parikesit mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menangkis setiap tebasan. Aswatthama bukan lawan sembarangan. Ia adalah putra Drona, sang guru agung dalam Bharatayuda.
Serangannya cepat, penuh pengalaman, dan mematikan.
“Aswatthama, ini bukan caranya!” teriak Parikesit sambil menangkis serangan lawannya. “Mengapa kau ingin menghancurkan Hastinapura?”
Aswatthama menyeringai. “Hancur? Tidak, Parikesit. Aku ingin menyelamatkannya dari kalian!”
Tebasan cepatnya hampir mengenai wajah Parikesit, tetapi sang raja muda berhasil menghindar.
“Aswatthama, perang Bharatayuda sudah berakhir! Pandawa menang, tetapi mereka tidak pernah menginginkan kehancuran Kurawa. Mereka hanya ingin keadilan!”
Aswatthama tertawa dingin. “Keadilan? Apakah keadilan berarti membantai saudara-saudaraku? Menyisakan hanya aku sebagai satu-satunya yang selamat?”
Parikesit mengernyit. “Itu perang! Semua orang kehilangan seseorang!”
“Tapi aku tidak lupa, Parikesit,” suara Aswatthama semakin dalam, matanya menyala penuh dendam. “Aku tidak lupa bagaimana aku dikhianati. Aku tidak lupa bagaimana aku dikutuk oleh Krishna, tak bisa mati, tak bisa menemukan kedamaian.”
Parikesit tercengang. Ia sadar, ini bukan sekadar pertempuran untuk merebut takhta. Ini adalah perang melawan dendam yang berusia puluhan tahun.
Namun, sebelum ia bisa menjawab, pintu ruang rahasia tiba-tiba terbuka!
Seorang pengawal tergesa-gesa masuk. “Paduka! Istana diserang!”
Parikesit dan Aswatthama sama-sama menoleh.
Di luar sana, suara gemuruh pertempuran mulai terdengar.
Api Pemberontakan
Di halaman istana Hastinapura, pasukan bayangan Aswatthama telah bergerak.
Mereka adalah sisa-sisa pengikut Kurawa, mereka yang menyimpan dendam terhadap Pandawa dan keturunannya. Malam itu, mereka menyerbu gerbang istana dengan ganas.
Vrishaketu, yang baru saja kembali dari perjalanan ke desa perbatasan, melihat api menyala di berbagai sudut kota.
“Mereka menyerang langsung ke jantung istana,” gumamnya.
Seorang prajurit mendekatinya dengan napas tersengal. “Paduka Vrishaketu, pasukan mereka lebih besar dari yang kita duga. Mereka memiliki strategi… seolah seseorang mengatur semuanya dari dalam.”
Vrishaketu menatap lurus ke istana.
“Aswatthama,” katanya tegas.
Tanpa ragu, Vrishaketu menarik pedangnya dan memimpin pasukan pertahanan Hastinapura.
Malam itu, perang saudara meletus di jantung Bharata.
Duel di Atap Istana
Sementara itu, di dalam ruang rahasia, Aswatthama memanfaatkan momen kekacauan untuk melarikan diri.
Parikesit mengejarnya, naik ke atas balkon istana.
“Aswatthama! Jangan lari!”
Aswatthama berhenti di tepi atap. Ia berbalik dan menatap Parikesit dengan mata yang penuh kebencian sekaligus kepedihan.
“Kau masih terlalu muda untuk memahami apa yang terjadi, Parikesit,” katanya lirih. “Dunia tidak sesederhana hitam dan putih. Tidak ada pahlawan sejati, tidak ada penjahat sejati. Hanya mereka yang menang dan yang kalah.”
Parikesit menggenggam gagang pedangnya lebih erat. “Aku tidak peduli pada menang atau kalah. Aku hanya ingin menyelamatkan Hastinapura dari kehancuran!”
Aswatthama tersenyum miring. “Kalau begitu, mari kita lihat apakah kau cukup kuat untuk mempertahankannya.”
Dalam sekejap, ia menyerang!
Di bawah langit yang memerah oleh kobaran api, dua ksatria dari garis keturunan Bharata beradu pedang di puncak istana.
Kekacauan di Gerbang Barat
Di sisi lain, Vrishaketu bertarung habis-habisan.
Ia melihat bagaimana para pemberontak bergerak dengan disiplin, seperti pasukan terlatih. Mereka tidak hanya bertarung membabi buta, tetapi mengikuti strategi yang telah disusun rapi.
“Siapa yang mengatur mereka?” pikirnya dalam hati.
Tiba-tiba, dari tengah pasukan musuh, seorang pria bertopeng muncul, mengenakan baju zirah hitam.
Pria itu melompat ke depan, langsung menyerang Vrishaketu!
Benturan senjata mereka terdengar nyaring. Vrishaketu terkejut. Serangan pria ini sangat kuat.
“Siapa kau?” serunya.
Pria itu tidak menjawab. Namun, ketika cahaya api menyinari wajahnya, Vrishaketu terbelalak.
“Aku mengenalmu…”
Pria bertopeng itu melepaskan helmnya, mengungkap identitasnya.
Dan Vrishaketu tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Mustakha…” bisiknya.
Mustakha—salah satu panglima perang yang dulu setia kepada Kurawa, yang seharusnya telah tewas dalam Bharatayuda.
“Vrishaketu,” Mustakha berkata dingin, “Aku kembali untuk menyelesaikan apa yang tertunda.”
Dua Pertarungan, Satu Takdir
Malam itu, dua duel besar terjadi di dua tempat berbeda.
Parikesit dan Aswatthama bertarung di atap istana.
Vrishaketu dan Mustakha bertarung di gerbang barat.
Sementara itu, Hastinapura terbakar dalam api pemberontakan.
Masa depan kerajaan Bharata kini berada di ujung pedang.
(Bersambung ke seri ke-10: Darah di Singgasana Hastinapura)