SUASANA sebuah ruang konferensi pers. Wartawan berdiri di hadapan seorang penguasa yang baru saja selesai menghadiri acara seremoni di gedung pemerintahan. Dengan suara tegas, wartawan mulai mengajukan pertanyaan yang mewakili kegelisahan rakyat.
Wartawan: “Selamat siang, Tuan. Terima kasih atas waktu Anda. Saya ingin menanyakan sesuatu yang mungkin sudah lama menghantui masyarakat kita. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak rakyat yang merasa keadilan semakin menjauh. Mulai dari kasus korupsi yang tak kunjung usai hingga eksploitasi kekayaan alam yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Apa tanggapan Anda terhadap kenyataan ini?”
Penguasa: (tersenyum tipis, lalu menghela napas)
“Baik, saya mengerti keresahan Anda. Namun, kita tidak bisa melihat semua itu dari satu sudut pandang saja. Pemerintah telah bekerja keras untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Prosesnya mungkin tidak secepat yang diharapkan, tetapi percayalah, kami memiliki komitmen untuk membawa perubahan.”
Wartawan: (mendesak dengan nada serius)
“Tuan, perubahan seperti apa yang Anda maksud? Faktanya, setiap tahun kami melihat berita tentang dana negara yang hilang akibat korupsi. Sementara itu, rakyat kecil harus berjuang dengan kondisi ekonomi yang semakin sulit. Bukankah ironis bahwa mereka yang berkuasa justru berdansa dengan para taipan, menikmati hasil dari penderitaan rakyat?”
Penguasa: (ragu sejenak, lalu menjawab)
“Saya tidak menyangkal bahwa ada tantangan besar dalam mengelola negara sebesar ini. Tetapi, jangan lupa bahwa banyak pihak yang bekerja keras demi kesejahteraan masyarakat. Kami telah meluncurkan berbagai program bantuan dan reformasi untuk memastikan keadilan ekonomi. Anda tidak bisa hanya fokus pada sisi negatifnya saja.”
Wartawan: (menatap tajam)
“Baik, jika demikian, mari kita bicara tentang salah satu sisi negatif yang sulit diabaikan. Menurut data, industri rokok, tambang, dan perkebunan besar dikuasai oleh segelintir taipan yang dulunya hanya tauke kecil. Mereka menjadi kaya raya karena mengeruk kekayaan negeri ini, sementara buruh yang bekerja untuk mereka tetap hidup miskin. Apa langkah konkret pemerintah untuk mengatasi ketimpangan ini?”
Penguasa: (berusaha tenang)
“Ketimpangan seperti ini adalah masalah yang tidak hanya terjadi di negara kita. Kami memahami bahwa redistribusi kekayaan adalah isu besar, dan kami sedang mencari solusi terbaik. Namun, ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dalam semalam. Kita harus melihat kontribusi mereka terhadap perekonomian secara keseluruhan.”
Wartawan: (berbicara dengan emosi yang terkendali)
“Tuan, kontribusi seperti apa yang Anda maksud? Para taipan itu mungkin memang menyumbang pajak, tetapi uang yang mereka hasilkan berasal dari hasil merampas sumber daya yang seharusnya menjadi hak rakyat. Bahkan, mereka menguasai tanah, laut, dan hutan yang seharusnya menjadi sumber penghidupan masyarakat kecil. Apakah ini keadilan yang Anda janjikan?”
Penguasa: (menundukkan kepala sejenak, lalu berbicara lebih pelan)
“Saya tidak bisa membantah fakta bahwa ada ketimpangan. Tetapi untuk menyelesaikannya, kita membutuhkan dukungan semua pihak. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Kami membutuhkan kesadaran kolektif, baik dari masyarakat maupun para pelaku usaha, untuk menciptakan sistem yang lebih adil.”
Wartawan: (mencoba menggali lebih dalam)
“Kesadaran kolektif? Bukankah pemerintah adalah pemegang kuasa terbesar? Anda memiliki wewenang untuk membuat kebijakan yang membatasi monopoli, mengembalikan kekayaan alam kepada rakyat, atau bahkan mengakhiri praktik korupsi. Mengapa sepertinya justru rakyat yang selalu diminta berkorban?”
Penguasa: (mulai kehilangan kesabaran, tetapi berusaha tetap tenang)
“Kami tidak meminta rakyat berkorban. Kami meminta rakyat bersabar. Setiap kebijakan yang kami buat memerlukan waktu untuk memberikan hasil. Saya paham bahwa ini tidak mudah, tetapi percayalah, kami bekerja demi kebaikan semua pihak.”
Wartawan: (menutup dengan tajam)
“Baiklah, Tuan. Jika memang pemerintah bekerja untuk kebaikan semua pihak, izinkan saya mengutip pertanyaan rakyat: kapan pemerintah berhenti berdansa dengan ‘kucing garong’ yang rakus kekuasaan? Kapan uang rakyat berhenti menjadi sapu tangan bagi mereka yang rakus dan tak tahu malu? Dan kapan bambu runcing kembali menjadi simbol perjuangan, bukan alat penaklukan rakyat sendiri?”
Penguasa: (terdiam, menatap wartawan dengan sorot mata tak terbaca)
“Itu pertanyaan berat. Saya harap Anda, dan seluruh rakyat, tetap percaya bahwa kita masih berada di jalur yang benar. Perubahan membutuhkan waktu. Terima kasih atas perhatian Anda.”
Wawancara berakhir. Wartawan pergi meninggalkan ruangan dengan kepala tegak, sementara penguasa duduk terpaku, mungkin merenungi, atau mungkin hanya mengabaikan pertanyaan itu. (Dwi Taufan Hidayat)