Oleh: Joko Sumpeno, Jurnalis Senior Jakartamu.com
MESKIPUN pertunjukan wayang kulit (purwa) itu tergolong sebagai mitos, namun masih hidup di dunia imajinasi dalam kultur Jawa (termasuk Sunda). Bagi orang Jawa, nama-nama tokoh dan kelompok itu ternomenklaturkan dan dihidupkan sebagai tiga kelompok: Para Dewa, Lokapala – Ramayana dan Mahabarata.
Masing-masing kelompok mewakili entitas yang menggambarkan rupa dan karakter berbeda. Bahkan bertentangan, diposisikan kiri yang angkara murka, mewakili kaum dholimin, kafirin dan musrikin berhadapan dengan kanan yang menggambarkan keutamaan perilaku membela yang benar dan menjunjung tinggi keadilan sebagai manifestasi keimanan dan amal saleh sidiq, amanah, tabligh dan fathonah.
Pandawa dengan tokohnya lima satria yakni Yudhistira, Bima, Arjuna dan si kembar Nakula-Sadewa dari epos Mahabharata yang dipandu oleh Kresna mewakili pihak kanan, berkolaborasi dengan Anoman mewakili Lokapala, ditakdirkan menghadang, berseberangan plus versus terhadap Kurawa yang dipandu oleh Sengkuni, Durna dan intelektual durjana lainnya
Terindikasikan pula kehadiran Bisma dan Salya Serta Adipati Karna Panglima Perang Kurawa yang kendati berperang di pihak Kurawa, namun eksistensinya sebenarnya adalah kerja di wilayah musuh atau menjalani metode kerja politik tanpa bentuk.
Apa dan bagaimana nama para tokoh wayang itu kemudian kemudian disematkan atau diklaim oleh sekelompok kader muda PKI (DN Aidit, Nyoto, MH Lukman, Sakirman dan Sudirman pada proses penggusuran 1953 kuasa senior yang kedaluwarsa (Sarjono, Alimin, Tan Ling Jie ).
Menyusul Pemilu pertama 1955 (DPR dan Konstituante, September 1955); selanjutnya Pemilu 1957 (DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota , Juli 1957) dan memuncak konflik PKI yang dilindungi Bung Karno menghadapi ABRI khususnya Angkatan Darat, PKI dengan Biro Khususnya menginfiltrasi lawannya itu, klaim imajinatif pada wayang diperhebat.
“PKI sangat produktif berkreasi atas dasar mitos, semata ingin dekat secara kultural dangan mayoritas warga bangsa negara berbasis Jawa dan di Pulau Jawa.”
Lahirlah pasukan Pasopati (senjata ampuh Si Arjuna) , Bimasakti dan Pringgodani/Gatotkaca untuk bergerak menculik hidup atau mati para perwira tinggi Angkatan Darat.
Begitulah PKI sangat produktif berkreasi atas dasar mitos, semata ingin dekat secara kultural dangan mayoritas warga bangsa negara berbasis Jawa dan di Pulau Jawa.
Terlepas berhasil atau tidak, bagi PKI tidak penting. Sejarah tidak meremehkan hal ini dengan menuding PKI telah kesekian kali berpetualang dalam satu pengkhianatan terhadap negara dan rakyat.
Apa pun kelihaian PKI mengolah kata rakyat dan mengkontradiksikan dalam arena romantika, dinamika dan dialektika ya sejarah, bagaimanapun akhirnya dilindas oleh kekirian yang mereka perjuangkan.
“Tokoh mitos itu bernama Wisanggeni yang sah-sah saja merasuki sebuah nama dan sosok Rocky Gerung yang dikenal cerdas, cendekia dan tak tersentuh aparat kekuasaan.”
Sengkuni
Begitu pun, jagat media sosial ketika rezim Jokowi jaya-jayanya, disemburkan juga tokoh Kurawa yakni Sengkuni untuk membunuh karakter seorang tokoh yang pernah menjadi orang nomor satu Muhammadiyah. Gerakan kultural sekenanya dimainkan begitu rupa melalui penghidupan kultural antara lain wayang ini. Mereka tertawa lebar dengan metodologi pembentukan sosial berbasis mitos.
Kini tiba saatnya, dihidupkan tokoh wayang pada seseorang yang bagi kaum pencinta tradisi mithologis dianggap kurang ajar dan jika perlu dijebloskan sebagai narapidana.
Tokoh mitos itu bernama Wisanggeni yang sah-sah saja merasuki sebuah nama dan sosok Rocky Gerung yang dikenal cerdas, cendekia dan tak tersentuh aparat kekuasaan.
Proses itu dinamai inkarnasi atau sekadar emanasi menjadi nomor kesekian, namun status dan peran Wisanggeni nyata-nyata tak mampu dibendung lagi.
Beginilah rupa dan karakter wayang yang bernama Wisanggeni tercatat dalam Akta Silsilah pewayangan. Ia adalah anak Arjuna bin Pandu Dewanata beristrikan Dewi Dresanala binti Betara Brahma.
Tentu dimaklumi, bahwa Arjuna memang beristri lebih dari satu. Istri pertama Arjuna bernama Dewi Sembadra binti Prabu Basudewa yang merupakan adik Kresna yang juga punya kakak bernama Baladewa.
Dari istri pertama, lahirlah Abimanyu beristrikan Sundari binti Kresna yang kelak punya anak bernama Parikesit, kelak sebagai ahli waris kekuasaan pasca-Perang Baratayudha.
Jadi Abimanyu adalah saudara tua beda ibu dengan Wisanggeni yang justru ditakdirkan moksa menjelang perang Baratayudha.
Wisanggeni absen dalam perang Baratayudha, sebagaimana juga dialami oleh Antareja/Antasena bin Bima, Boma Narakasura, Anoman dan Baladewa berkat strategi politik Kresna sebagai pengendali Pandawa.
Meskipun Wisanggeni itu nungkak Krama (kurang sopan, tidak bisa berbahasa halus) namun logika berpikir dan sistematik penyampaiannya tak bisa dibantah oleh siapa pun. Justru, berbahasanya Wisanggeni baik verbal maupun tubuhnya, kadang melukai perasaan orang-orang bodoh, penjilat Kurawa dan pemburu nikmat kuasa.
Namun pada Wisanggeni juga beban kekandhangan (mediator) akan kehadiran nilai dan kejernihan intelektual dipikulkan Wisanggeni, dengan maksud supaya penegakan hukum yang berkeadilan tidak berubah menjadi sekadar formalitas hukum yang dipaksa kepentingan politik kekuasaan.
Kelahiran Wisanggeni yang prematur, memaksa harus “dimatangkan” di kawah Candradimuka dengan harapan bertambah kecerdasan dan kesaktiannya.
Pada posisi sedemikian itu, Wisanggeni memang tidak dipersiapkan sebagai pengabdian kekuasaan dengan segala manifestasi ikutannya: Sewenang-wenang dan suka menyembunyikan kebenaran demi segudang uang atas nama kefanaan dunia. Ia menjalani fungsi kenabian atas titah-Nya yang mesti ditegakkan.
Dan, Wisanggeni pada abad kini menyempatkan hadir di bumi khatulistiwa yang dicahayai Sang Surya sepanjang masa, bukan untuk memburu status pemburu kekuasaaan, apalagi sekadar sebagai pembantu sektoral. Ia mengejawantah sebagai penyuluh obor etika, peningkatan kadar intelektualitas terlepas apakah memenuhi elektabilitas atau tidak.
Wisanggeni bukan merupakan sosok yang dikenal sebagai Aku versus Kamu, tetapi menjelma menjadi ia dalam kesendirian, padahal sang ia itu berguna bagi ke-kita-an bangsa yang belum optimal dalam peruntungan, seperti Indonesia yang berpotensi kaya, tapi kenyataannya masih digelayuti beban kemiskinan, kebodohan tapi suka pamer keturunan dan malas bercakap dengan kecerdasan dan kesetaraan.
Rasanya, Wisanggeni itu hadir di tengah kita dengan nama Rocky Gerung. (*)