SETELAH melewati Nisfu Sya’ban yang jatuh pada 15 Februari 2025, suasana di Taman Pemakaman Umum mulai ramai dikunjungi para peziarah. Tradisi ziarah kubur setiap menjelang Ramadan seakan menjadi waktu special bagi masyarakat untuk mengenang dan mendoakan keluarga yang telah berpulang.
Tradisi juga berdampak pada perputaran ekonomi di sekitar area pemakaman. Lapak pedagang bunga dadakan berjejer sepanjang 500 meter hingga 1 kilometer dari gerbang makam. Para pedagang makanan dan minuman pun turut meramaikan suasana, memanfaatkan momentum tahunan ini. Tak ketinggalan jasa parkir dan jasa doa marak bermunculan, menambah dinamika ekonomi dadakan di sekitar area pemakaman.

Makna Ziarah Kubur dalam Islam
Ziarah kubur merupakan salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam. Selain untuk mendoakan mereka yang telah tiada, ziarah kubur juga memiliki hikmah sebagai pengingat akan kehidupan setelah mati. Dalam masyarakat Indonesia, tradisi ini memiliki nilai sakral tersendiri. Banyak orang rela melakukan perjalanan jauh, bahkan lintas kota, untuk berziarah ke makam keluarga mereka. Tidak jarang, mereka harus mengajukan izin cuti dari pekerjaan demi melaksanakan tradisi ini.
Menjelang Ramadan, ziarah kubur semakin menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Muslim. Berbagai istilah digunakan untuk menyebut tradisi ini, seperti “arwahan,” “nyekar” (Jawa Tengah), “kosar” (Jawa Timur), dan “munggahan” (tatar Sunda).
Sakralitas tradisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa ziarah kubur mulai dianggap sebagai suatu kewajiban menjelang Ramadan, sama halnya dengan salat Idulfitri. Padahal, dalam ajaran Islam, tidak ada ketentuan khusus mengenai waktu yang paling utama untuk berziarah. Jika kebiasaan ini terus-menerus dilakukan secara bersama-sama pada waktu tertentu, dikhawatirkan akan berkembang menjadi suatu keyakinan yang keliru, seolah-olah ada kewajiban agama yang mengikat.
Tradisi, dalam pengertiannya, adalah kebiasaan yang dilakukan secara berulang karena dinilai memiliki manfaat tertentu. Kata “tradisi” sendiri berasal dari bahasa Latin “tradere,” yang berarti meneruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi berkembang dalam berbagai aspek kehidupan, baik untuk tujuan budaya, sosial, maupun politis.
Ketika suatu kebiasaan telah begitu mengakar, segala tindakan yang bertentangan dengannya sering kali dianggap sebagai pelanggaran hukum tak tertulis. Orang-orang yang tidak melakukan ziarah kubur menjelang Ramadan atau setelah salat Id bisa saja dicap tidak menghormati tradisi, bahkan dianggap lalai dalam menjalankan ajaran agama. Padahal, pemahaman seperti ini tidaklah tepat.
Ziarah Kubur Tak Terikat Waktu
Ziarah kubur dapat dilakukan kapan saja, tanpa harus terpaku pada waktu tertentu seperti menjelang Ramadan atau setelah Idulfitri. Edukasi mengenai hal ini perlu terus dilakukan agar masyarakat dapat membedakan antara tradisi dan hukum agama. Memang tidak mudah mengubah kebiasaan yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat, tetapi dengan kesabaran dan pendekatan yang tepat, pemahaman yang lebih luas dan benar dapat disebarluaskan.
Ziarah kubur tetaplah bagian dari ibadah yang dianjurkan dalam Islam, selama dilakukan dengan niat yang benar dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Masyarakat diharapkan dapat menjalankan tradisi ini dengan kesadaran yang lebih mendalam, tanpa merasa terikat oleh kewajiban yang sebenarnya tidak ada dalam syariat Islam.