JAKARTAMU.COM | Negara kita kerap dilanda bencana yang membawa dampak besar, termasuk kehilangan harta benda dan menimbulkan penderitaan.
Di sisi lain, masyarakat di sekitar kita pun masih banyak yang hidup dalam kekurangan dan membutuhkan uluran tangan.
Dalam kondisi ini, muncul pertanyaan: mana yang lebih diprioritaskan dalam penyaluran Zakat, Infak, dan Sedaqah (ZIS)?
Pertama, penting untuk membedakan penyaluran dana Infak dan Shadaqah dari dana Zakat. Dana Infak dan Shadaqah memiliki fleksibilitas yang lebih besar karena tidak terikat oleh ketentuan syar’i tertentu.
Oleh karena itu, penggunaannya untuk membantu korban bencana tidak menimbulkan permasalahan, mengingat tidak ada batasan spesifik mengenai siapa saja yang berhak menerima bantuan ini.
Namun, hal yang berbeda berlaku untuk Zakat. Dalam Al-Qur’an, penerima Zakat telah ditentukan dengan jelas, yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, orang berhutang (gharimin), mereka yang berjuang di jalan Allah (fisabilillah), dan musafir yang kehabisan bekal (ibn sabil) sebagaimana disebutkan dalam Surah At-Taubah ayat 60.
Pada pandangan pertama, korban bencana tidak secara eksplisit termasuk dalam kategori mustahiq (penerima) Zakat.
Meski demikian, korban bencana dapat dimasukkan dalam kategori fakir dan miskin. Pandangan ini berlandaskan definisi umum fakir dan miskin menurut jumhur ulama, yakni mereka yang hidup dalam kondisi kekurangan dan sangat membutuhkan.
Dalam konteks korban bencana, banyak di antara mereka yang kehilangan segalanya dan berada dalam situasi mendesak, yang menjadikan mereka berhak mendapatkan bagian Zakat.
Sebagai penguat, hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Muslim menjelaskan bahwa orang yang tertimpa bencana hingga kehilangan harta benda diizinkan untuk menerima sedekah hingga mereka mampu bangkit kembali.
Dengan demikian, korban bencana yang harus berhutang demi memenuhi kebutuhan dasar mereka juga dapat menerima dana Zakat dari bagian gharimin.
Selanjutnya, muncul pertanyaan yang lebih mendesak: ketika sumber daya terbatas, siapa yang harus diprioritaskan?
Dalam kondisi ideal, bantuan sebaiknya disalurkan kepada semua pihak yang membutuhkan tanpa memprioritaskan satu kelompok di atas kelompok lainnya.
Namun, dalam situasi darurat, prioritas diberikan kepada mereka yang berada dalam kondisi paling mendesak. Prinsip ini sejalan dengan maqashid syariah, yang menempatkan penyelamatan jiwa dan pemenuhan kebutuhan dasar sebagai prioritas utama.
Dengan demikian, penyaluran Zakat untuk korban bencana tidak hanya diperbolehkan tetapi juga selaras dengan semangat syariah yang menekankan keadilan dan kepedulian sosial. Di saat yang sama, penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan dalam mendistribusikan dana Zakat agar semua mustahiq tetap mendapatkan haknya tanpa merasa terabaikan.
Dalam konteks ini, peran lembaga pengelola ZIS sangat penting untuk memastikan bahwa penyaluran bantuan dilakukan dengan adil, efektif, dan tepat sasaran.
Melalui sinergi dan pengelolaan yang profesional, bantuan yang diberikan dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi mereka yang membutuhkan, baik di sekitar tempat tinggal kita maupun di daerah terdampak bencana. (Sumber)